DNI Dibuka, Pekerja Film Jadi Penonton di Negeri Sendiri
Anggota Komisi X DPR RI Krisna Mukti khawatir, dengan dibukanya 100 persen Daftar Negatif Inventarisasi (DNI) untuk sektor film kepada asing, pekerja film Indonesia belum siap menghadadapi persaingan dengan asing. Ia khawatir, pekerja film Indonesia akan menjadi penonton di negeri sendiri.
“Beberapa orang sebenarnya sudah mampu, karena walaupun mereka tidak bersekolah seni, baik akademis maupun teknis, tapi ada yang berkualitas. Tapi memang bisa dibilang sangat sedikit,” khawatir Krisna, usai RDP dengan Ketua Persatuan Karyawan Film dan Televisi, di Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Senin (14/03/2016) malam.
Krisna tak memungkiri, hadirnya asing ini memang akan memberikan warna kepada dunia perfilman Indonesia. Namun ia khawatir, pekerja film lokal akan sulit berkembang, dan tak mampu ekspansi ke negara lain.
“Nantinya akan disebut produksi film Indonesia, tapi pemainnya dari Korea, China, Jepang dan lain sebagainya, termasuk pekerja filmnya. Karena mungkin skill pekerja film Indonesia masih kurang, dan upah lebih mahal. Pekerja film kita akan menjadi penonton di negeri sendiri,” nilai Krisna.
Politikus F-PKB itu menilai, nantinya selain produser juga dari asing, pekerjanya juga akan berasal dari asing. Karena bisa saja, skill pekerja asing itu lebih bagus, mau dibayar lebih murah dibanding pekerja Indonesia.
Untuk itu, politisi asal dapil Jawa Barat itu menyarankan, dengan dibukanya DNI ini, ditindaklanjuti dengan pembuatan peraturan yang jelas. Jangan sampai merugikan pekerja film lokal.
‘Petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis kan belum jelas. Harus disiapkan perangkat hukum yang jelas, dan sedetail-detailnya, sehingga tidak merugikan para pekerja film di Indonesia. Ini yang dikhawatirkan,” imbuh Krisna.
Krisna menambahkan, persaingan diprediksi semakin ketat ini, memicu wacana diusulkannnya pembangunan sekolah perfiman dalam revisi UU no 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Tapi ia tak menjamin, apakah pengaturan itu terkandung dalam pasal, atau cukup hanya dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri.
“Saya berharap, dengan adanya revisi UU No 33 Tahun 2009, ini dapat dibangun sekolah perfilman yang memang buatan Pemerintah RI, bisa menghasilkan pekerja seni yang berkualitas dan melahirkan karya yang berkualitas. Karena banyak sekali orang yang mempunyai keinginan mengeksplore kemampuan seninya dengan ingin bersekolah, menambah ilmu secara akademis,” tambah Krisna. (sf)/foto:azka/parle/iw.